kebohongan media sosial

Oleh: Nasreen Ega Al- Farizhy

Dekade terakhir, sejumlah Negara di Timur-Tengah bergolak menuntut perubahan. Suksesi revolusi Tunisia dengan tergulingnya Presiden Ben Ali setelah puluhan tahun berkuasa, telah menginspirasi dan menular ke belahan negara Arab lainnya. Tak lama setelah Ben Ali terguling dari tampuk kekuasaannya, Mesir pun bergolak menuntut perubahan. Berhari-hari rakyat Mesir tumpah ruah ke jalan menuntut Hosni Mubarak mundur.

Bak gayung bersambut, tuntutan rakyat Mesir pun akhirnya terpenuhi dengan turunnya Mubarak dari kursi kepresidenan.

Kini, dunia internasional kembali digegerkan gejolak revolusi yang terjadi di Libya. Sejumlah media internasional hampir setiap hari memberitakan negara yang dipimpin oleh Moammar Khadafy ini.

Gejolak Libya ini telah menyita perhatian dunia dan menghiasi pemberitaan berbagai media, baik nasional maupun internasional.

Seolah tak mau kalah dengan Tunisia dan Mesir, rakyat di negeri yang dipimpin oleh Moammar Khadafy ini juga ikut menggelorakan tuntutan perubahan.

Salah satu hal yang menarik dari gejolak Libya ini adalah isu pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Khadafy untuk membungkam para demonstran seperti dilansir banyak media. Benarkah hal itu memang terjadi? Atau memang media saja yang terlalu membesarkan hal itu ?

Ada Kebohongan Publik dalam Isu Pembantaian

Rasanya sulit diterima akal sehat jika ada seorang pemimpin yang menginstruksikan pembantaian massal rakyatnya secara terang-terangan. Kalaupun ada perintah tersebut, pastilah dilakukan secara rahasia.

Ini tentunya bertolak belakang dengan pemberitaan media yang mengabarkan seorang Khadafy memerintahkan pasukannya untuk membunuh para demonstran yang merongrong kekuasaannya.

Putra Khadafi, Seif al-Islam Khadafi, melontarkan bantahan keras pemberitaan media yang menyebutkan ayahnya menyewa tentara bayaran dari Afrika untuk membantai para demonstran.

Seif al-Islam menuding pihak media telah menerima bayaran dari sejumlah pihak untuk membuat kebohongan publik untuk menumbangkan ayahnya. Seperti dilansir TV Al-Arabiya, Saef al-Islam menuding pihak media sengaja dibayar untuk menjatuhkan ayahnya. Dia pun yakin jika ada yang menunggangi aksi para demonstran ini.

“Saudara-saudara Arab kami membayar gaji para jurnalis setiap bulannya, dan meminta mereka untuk menulis dan menghasut untuk melawan Libya. Menulis untuk melawan Muamar Khadafi”

Lebih lanjut, Saef al-Islam menantang media untuk membuktikan tuduhan adanya tentara bayaran dan pembunuhan massal yang konon kabarnya terjadi di Tripoli.

Pemberitaan bombastis media yang terkesan mengerikan juga dibantah oleh seorang mahasiswa Indonesia di sana. Gelar Digjaya Muhammad, mahasiswa tingkat tiga Islamic Call College asal Bandung yang tinggal di Tripoli itu membeberkan adanya banyak berita fitnah seputar kondisi yang sesungguhnya terjadi di Libya.

Khadafy dikabarkan sudah terdesak dan terkepung di rumahnya. Padahal, esok harinya Gaddafi berpidato di Tripoli,” tulis Gelar Digjaya tentang salah satu yang dimaksudnya dengan berita fitnah yang beredar luas.

Gelar Digjaya juga menulis bahwa berita pengeboman demonstran dengan jet tempur itu juga berita bohong.

”Pengeboman melalui pesawat di distrik Tajuro, Suqjumah, fasylum. Sampai saat ini, seluruh responden kami dari berbagai distrik pun sama sekali tidak pernah mendengar bunyi bom satu pun,”

”Responden kami dari berbagai distrik dan daerah yang diberitakan terjadi pengeboman mengatakan tidak ada apa-apa. Tidak ada bunyi pesawat apalagi letusan bom.”

Gelar Digjaya merupakan Ketua Departemen Kaderisasi KKMI (Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia) Libya. Lewat situs resminya, KKMI melaporkan situasi perkembangan terakhir dari Tripoli. KKMI mengkomparasikan sumber dari media asing, media pemerintah Libya dan situasi di lapangan baik melalui koresponden maupun kesaksian pribadi kawan-kawan mahasiswa

Dia juga membantah pemberitaan tentang pembantaian massal di Tripoli. ”Pembantaian massal di Tripoli, penembakan membabi buta. Ada mahasiswa kampus kami yang tiga hari mengelilingi Tripoli itu tidak menemukan apa-apa yang diberitakan. Tidak ada mayat-mayat bergelimpangan,” tulis Gelar Digjaya.

”Alun-alun Tripoli hancur dan dijadikan pusat demo anti-Gaddafi (justru kebalikan alun-alun kota masih sangat indah dan sudah dua hari berturut-turut dipenuhi ratusan ribu para pendukung Gaddafi).”

Kota Sirte, Sabha, Zawiyah, Misrata, dan Sabrata jatuh ke tangan oposisi. Padahal, tulis Gelar Digjaya, kota yang dikuasai oposisi hanya kota Benghazi dan Baidha yang terletak 1000 km dari Tripoli ke arah timur.

Untuk menelusuri kebenaran informasi ini, penulis mengontak seorang rekan yang kebetulan juga kuliah di Islamic Call College. Senada dengan Gelar Digjaya, dia juga memberikan gambaran yang sama tentang kondisi Libya dan menilai media terlalu membesar-besarkan demonstrasi yang terjadi di Libya, yang dalam realitasnya tak seperti yang dibayangkan. Menurutnya, memang terjadi demonstrasi di Libya, namun itu masih dalam batas yang terkendali dan tidak seheboh yang diberitakan banyak media. Selain itu, otoritas LIbya, menurutnya, juga tak memutuskan jalur komunikasi, baik telepon maupun internet, tidak seperti yang terjadi di Mesir.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa mengapa media memberitakan suatu hal yang kontradiktif dengan kenyataan di lapangan?

Amerika dan Kepentingannya atas Libya dan Timur Tengah

Berbeda dengan Hosni Mubarak atau mantan diktator Tunisia Ben Ali yang pro Amerika, sosok Khadafi selama ini dikenal kritis atas kebijakan Amerika di Timur-Tengah. Kritik-kritik Khadafi tentu saja membuat ‘gerah’ negara adi kuasa tersebut.

Bergolaknya sejumlah negara-negara Arab nampaknya memberi peluang tersendiri bagi Amerika untuk ikut ambil bagian dalam memprovokasi rakyat Libya untuk menggulingkan kepemimpinan Khadafy.

Ada perbedaan tersendiri dalam kasus Libya ini jika dibandingkan dengan Mesir dan Tunisia. Mesir dan Tunisia bergolak akibat terjadinya krisis pangan dan besarnya jumlah pengangguran terdidik. Namun, di Libya lebih kental nuansa politisnya dibanding krisis ekonomi seperti yang terjadi di dua negara tetangganya tersebut.

Libya yang kaya dengan kandungan minyak tentu saja menjadi tujuan dari konspirasi besar negeri Paman Sam ini. Jika di Irak, Amerika menggunakan tuduhan senjata nuklir sebagai senjata untuk menggulingkan Saddam Hussein, meskipun hal itu tidak terbukti. Di negara Khadafy ini, Amerika terlihat lebih memainkan peran intelejennya guna memprovokasi rakyat Libya agar menggelorakan tuntutan perubahan seperti negara-negara tetangganya.

Untuk memainkan politiknya di ranah internasional, pers tentunya senjata ampuh untuk membentuk opini publik guna mendelegetimasi kepemimpinan Khadafy di dunia internasional. Karena itu pula kita dapat melihat sejumlah pemberitaan media internasional begitu mengerikan menggambarkan kondisi Libya dan otoritarianisme Khadafy. Celakanya, media nasional juga ikut ‘latah’ mengutip berita-berita dari media-media tersebut tanpa ditelusuri lebih jauh kebenarannya.

Seorang anggota parlemen Bahrain sekaligus wartawan, Samira Rajab menyampaikan kepada kantor berita Rusia, RIA Novosti, tentang agenda besar Amerika atas Timur-Tengah.

Samira mengatakan, pergolakan politik yang telah menjatuhkan penguasa Tunisia dan Mesir dan terus menjalar ke dunia Arab didalangi Amerika Serikat lewat proyek “Timur Tengah Baru”.

“Kerusuhan dan revolusi yang kita saksikan saat ini di negara Arab adalah akibat dari implementasi proyek AS bernama ’Timur Tengah Baru’ itu. Program tersebut dimulai dari Irak, kemudian Lebanon,” ungkapnya.

Istilah “Timur Tengah Baru” dikenalkan pada 2006 oleh Menteri Luar Negeri AS era Presiden George W Bush, Condoleezza Rice. Para analis mengatakan, proyek itu mendefinisikan kebijakan Washington di wilayah yang luas, termasuk negara Arab dan Asia Tengah.

“Babak baru implementasi proyek itu baru akan terlihat setidaknya sepuluh tahun lagi, yang dimulai sejak 2011,” katanya.

Menurut dia, strategi AS di wilayah Timur Tengah bertujuan melemahkan rezim berkuasa dan mengenalkan kelompok oposisi ke pemerintahan mereka.

Pada akhirnya, kita bisa mengambil kesimpulan, Amerika akan terus memainkan peranannya dalam percaturan politik Timur-Tengah maupun negara lainnya demi menancapkan kuku-kuku imperialismenya di sana. Wallahu’ a’lam bi Shawab